Sabtu, 11 April 2009

kesling

Pengertian Etika

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa­kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin­dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.

Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:

  • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).

  • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.

Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas­kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:

  • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.

  • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.

Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

  1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)

  2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)

  3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba­gai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)

  4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)

Macam-macam Etika

Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai­-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:

Etika Deskriptif

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Da-pat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertin­dak secara etis.

Etika Normatif

Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang da­pat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan meng­hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:

  • Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.

  • Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehi­dupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.

  • Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.

Norma dan Kaidah

Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah nor­ma-norma atau kaidah, yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupa­kan standar yang harus ditaati atau dipatuhi (Soekanto: 1989:7).

Kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang beraneka ragam, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat, yang disebut peraturan hidup.Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupan de­ngan aman, tertib dan damai tanpa gangguan tersebut, maka diperlu­kan suatu tata (orde=ordnung), dan tata itu diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi pedoman bagi segala pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui “hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan tata peraturan”, dan tata itu lazim disebut “kaedah” (bahasa Arab), dan “norma” (bahasa Latin) atau ukuran-ukuran yang menjadi pedoman, norma-norma tersebut mempunyai dua macam menurut isinya, yaitu:

  1. Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk ber­buat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik.

  2. Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang tidak baik.Artinya norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada ma­nusia bagaimana seseorang hams bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya, dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari (Kansil, 1989:81).

Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukuman terhadap siapa yang telah melanggarnya.

Tetapi dalam ke­hidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi, misalnya sebagai berikut:

  • Semestinya tahu aturan tidak akan berbicara sambil menghisap rokok di hadapan tamu atau orang yang dihormatinya, dan sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap tidak sopan walaupun merokok itu tidak dilarang.Seseorang tamu yang hendak pulang, menurut tata krama harus diantar sampai di muka pintu rumah atau kantor, bila tidak maka sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap sombong dan tidak menghormati tamunya.

  • Mengangkat gagang telepon setelah di ujung bunyi ke tiga kalinya serta mengucapkan salam, dan jika mengangkat telepon sedang berdering dengan kasar, maka sanksinya dianggap “intrupsi” ada­lah menunjukkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang ada disekitarnya.

  • Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahu­an pemiliknya, maka sanksinya cukup berat dan bersangkutan dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara mau­pun perdata (ganti rugi).

Kemudian norma tersebut dalam pergaulan hidup terdapat empat (4) kaedah atau norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum . Dalam pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah, sebagai berikut:

1. Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi:

  • Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman.

  • Kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nu-rani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah).

2. Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi:

  • Kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama dan etiketdalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat (pleasantliving together).

  • Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ke­tertiban, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful living together).Sedangkan masalah norma non hukum adalah masalah yang cu­kup penting dan selanjutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas/PR, yaitu seperti nilai-nilai mo­ral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau berma­syarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati.

Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang dokter ketika mengobati pasiennya, atau dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap para mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana sebagai profesional tersebut menjalankan tugas dan ke­wajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.Terlepas dari mereka sebagai profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya, atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan adalah “sikap atau perilaku” mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama atau kehidupan manusia.



Pada akhirnya nilai moral, etika, kode perilaku dan kode etik standard profesi adalah memberikan jalan, pedoman, tolok ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam mem­berikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing. Peng­ambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhi­tungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus me­miliki tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah di­tujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan yang lebih luas (obyektif).

Etiket

Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal ke­dua istilah tersebut terdapat arti yang berbeda, walaupun ada per­samaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket adalah ber­kaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.Istilah etiket berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi un­tuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan.

Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan si kap serta perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi.Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab.



Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat ter­tentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah lake sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994. yaitu selain ada persamaannya, dan juga ada empat perbedaan antara etika dan etiket, yaitu secara umum­nya sebagai berikut:

  1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan be­nar sesuai dengan yang diharapkan.

  2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya pe­nuh dengan sopan santun dan kebaikan.

  3. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah lainnya.

  4. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku.

http://asyilla.wordpress.com/2007/06/30/pengertian-etika/



























ARTIKEL

Tren Temuan Indikator Akuntabilitas Publik

Manfaatkan Jaringan Radio

2008-05-13 10:40:55

Kinerja politik lokal merupakan salah satu parameter dalam penilaian Otonomi Award. Akuntabilitas publik dan pelembagaan politik menjadi bagian dari parameter ini. Apa saja kemajuan yang terjadi pada parameter ini? Berikut laporan riset The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) yang disarikan oleh Redhi Setiadi.

Sejak otonomi daerah diberlakukan (2001), dinamika politik lokal seolah menjadi bergairah kembali. Masyarakat semakin kritis menuntut akuntabilitas pemerintah daerah. Pemda pun meresponsnya dengan berupaya menampilkan diri sebagai birokrasi yang bersih, transparan, akuntabel, dan responsif. Apalagi, dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, kekuasaan benar-benar berada di tangan rakyat. Rakyat menjadi juri bagi kinerja pemerintah daerah.

Banyak kepala daerah yang tidak terpilih kembali karena dinilai kurang transparan, terjerat kasus korupsi, dan kurang memperhatikan suara rakyat. Sebaliknya, tidak sedikit kepala daerah yang terpilih kembali karena mampu mengubah birokrasi menjadi lebih transparan, bersih, mau mendengar dan melibatkan rakyat dalam kebijakan daerah.

Temuan riset JPIP tahun ini membuktikan hal itu. Ditemukan beragam kreativitas daerah untuk memajukan kualitas politik lokal. Secara umum, isu strategis yang digarap pemda agar pemerintahannya menjadi lebih akuntabel adalah transparansi, akses informasi, sanitari birokrasi, pengaduan masyarakat, responsivitas, dan responsibilitas aparatur.

Dalam hal transparansi, pemda mulai berani terbuka kepada masyarakat. Keterbukaan itu diwujudkan dengan memaparkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di media massa. Tentu saja paparannya hanya sebatas ringkasan neraca APBD. Tidak mungkin menampilkan seluruh isi APBD yang tebalnya beratus-ratus halaman.

Meski hanya sebatas menampilkan ringkasan APBD, upaya itu patut diapresiasi. Ini terobosan dalam bidang transparansi anggaran publik. Dulu, APBD seolah menjadi dokumen rahasia yang hanya beredar di lingkungan pemda. Jika masyarakat merasa kurang puas dengan hanya melihat ringkasan neraca APBD, mereka juga diberi kesempatan mengakses buku APBD secara langsung.

Sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Timur memberi izin bagi masyarakat untuk mengakses APBD. Dan, hanya sebagian kecil daerah -tidak lebih dari hitungan jari satu tangan- yang masih menganggap APBD hanya boleh diakses oleh kalangan terbatas.

Pemda biasanya menggunakan media lokal untuk publikasi APBD. Medianya bisa koran lokal, radio lokal, dan TV lokal yang berbasis di kabupaten/kota. Ada juga daerah yang membuat papan pengumuman 3 x 4 meter untuk menampilkan ringkasan APBD. Papan pengumuman itu ditempatkan di tempat terbuka, seperti alun-alun dan di jalan-jalan utama. Ada juga yang memasang ringkasan APBD di website daerah.

Ada kemajuan juga dalam hal akses informasi. Beberapa daerah berinovasi untuk semakin memudahkan masyarakat memperoleh informasi tentang segala hal yang terkait pemerintahan daerah. Misalnya, informasi tentang program yang sedang direncanakan, sedang dilaksanakan, maupun evaluasi terhadap progam yang sudah dilaksanakan.

Informasi ini diberikan lewat berbagai media. Ada daerah yang mentradisikan pertemuan rutin setiap bulan. Forum tatap muka itu mempertemukan pemda dengan elemen masyarakat. Agendanya persoalan-persoalan aktual yang ada di masyarakat. Dari masalah ekonomi, sosial, politik, hukum, hingga lingkungan hidup. Pemda juga menggali masukan-masukan dan kritik dari masyarakat. Masalah-maslah yang menyangkut pemerintahan biasanya bisa langsung menemukan solusinya pada forum tersebut. Sebab, semua kepala dinas, badan, dan kantor harus hadir.

Forum ini sekaligus berfungsi sebagai alat monitoring dan evaluasi kinerja pemerintah daerah. Misalnya, dalam forum ini warga masyarakat bisa menanyakan langsung proyek-proyek yang sedang dilaksanakan pemerintah daerah. Jika ada yang tidak beres dengan proyek tersebut, masyarakat bisa langsung meminta klarifikasi dari pemda.

Semua kabupaten/kota di Jawa Timur saat ini mempunyai website. Namun, biasanya hanya berisi informasi umum. Hanya sedikit daerah yang sudah memasang informasi tentang lelang proyek yang akan dikerjakan pemda. Ada juga daerah yang membentuk pusat layanan informasi khusus pariwisata.

Untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat, beberapa daerah membuat program dialog interaktif di radio. Yang terlibat dalam dialog mulai bupati/wali kota, kepala dinas, dan instansi pemda lain. Namanya bervariasi antardaerah. Ada yang memberi label Bupati Menjawab, Wali Kota Menjawab, Hallo Bupati, Siaran Pejabat, Campursari bersama Pak Bupati, Satu Jam Bersama Pak Bupati, Bupati Menyapa, dll.

Pada acara ini, masyarakat bisa bertanya jawab langsung via telepon. Intinya, dialog interaktif tersebut dilakukan untuk memecah kebekuan komunikasi pemda dan masyarakat yang dulu berjalan sangat birokratis dan tidak komunikatif.

JPIP juga menemukan tren menarik pada ranah penciptaan birokrasi yang bersih (sanitari birokrasi). Ada satu kabupaten yang telah menerapkan pakta integritas pada pimpinan dan staf pemda. Ikrar pakta integritas itu dipimpin langsung oleh bupati. Sosialisasi pakta juga dilakukan kepada DPRD, pemerintah desa, badan perwakilan desa, LSM, tokoh masyarakat, dan perguruan tinggi. Sosialiasi juga melibatkan KPK dan BPKP.

Pencanangan janji bersama untuk menerapkan pakta integritas dan transparansi ditandai dengan penandatanganan secara simbolis, mulai bupati, pejabat eselon II, III, IV, hingga staf pelaksana aparatur dan kepala desa. Seluruh PNS menandatangani dokumen kepegawaian sebagai komitmen kesiapan individu PNS untuk melaksanakan pakta integritas dan transparansi dengan segala konsekuensinya. Berkas ini menjadi dokumen daerah di lembaga badan kepegawaian daerah.

Salah satu implikasi pakta integritas adalah adanya keterlibatan lembaga independen sebagai pemantau dalam pengadaan barang dan jasa. Selain itu, pemkab mengikutsertakan LSM, tokoh masyarakat, dan perguruan tinggi dalam monitoring dan pelaksanaan pembangunan. Setiap bulan bupati juga menggelar pertemuan rutin dengan LSM, cendekiawan, dan tokoh masyarakat.

Sanitari birokrasi juga dibangun pemda dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai APBD. Ada satu daerah yang memberlakukan surat tilang bagi pelaksana proyek. Mekanisme operasionalnya mirip yang dilakukan polisi. (redhi@jpip.or.id)

Jawa Pos, 21 April 2008



http://www.jpip.or.id/articles/view/136

diakses 11 april 2009, 12;24









Kabupaten Bangka, Akankah Juga Mengalami Dahaga Global?

(OLEH: M. KAMIL ABUBAKAR, MEGAWATI SOEROSO DAN PAN BUDI MARWOTO

POKJA AMPL KAB BANGKA)

Konon saat ini dunia terancam krisis air yang bisa memicu peperangan. Setiap 20 detik, satu orang tewas akibat sanitasi yang buruk. Butuh biaya besar untuk mengelola air.

Kota dunia. Mungkin itu julukan yang pas berkaitan dengan perkembangan metro di dunia. Kini sekitar 400 juta kota menyesaki dunia. Padahal, pada awal abad ke-20 hanya ada 16 juta kota. Berbarengan dengan itu, pertumbuhan penduduk meningkat tajam. Arus migrasi dari desa ke kotakota. tidak tertahankan. Para peneliti memperkirakan, pada 2030 sebanyak 80% penduduk bumi tinggal di kota.

Keadaan yang sama juga melanda kota-kota dunia. Beijing, dengan 16 juta penduduknya. Penyedotan air tanah membuat tanah anjlok lebih dari 12 meter dalam 30 tahun terakhir. Pemerintah Cina mengalokasikan dana trilyunan dolar Amerika untuk mengalirkan air dari Sungai Yangtze di selatan ke daerah utara yang kering. Kebutuhan air bersih memang sangat vital. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap hari 4.000 orang tewas akibat penyakit menular lewat air.

Sekjen PBB, Ban Ki-moon, mengatakan bahwa kematian itu akibat sanitasi yang tidak memadai, ditambah kurangnya air bersih dan tingkat kesehatan yang buruk. Setiap 20 detik, satu anak tewas akibat sanitasi buruk yang dialami sekitar 2,6 juta orang di seluruh dunia. Ban Ki-moon menyatakan hal itu ketika mencanangkan Tahun Sanitasi Internasional 2008, Maret silam.

''Bila dulu saja air yang terjamin dengan harga yang terjangkau sangat sulit disediakan, maka kecepatan perkembangan di dunia membuat tantangan ini lebih besar lagi,'' kata Lee Hsien Long, Perdana Menteri Singapura, pada saat membuka Konferensi Dunia tentang Air. Lee menegaskan, akses pada air sebagai kepentingan keamanan berpotensi menimbulkan konflik. Lebih dari semilyar penduduk dunia tidak memiliki akses pada air bersih.

Pemecahan kurangnya sumber air harus dimulai dari pemahaman bagaimana tiap-tiap orang memerlukan air bersih. Malin Falkenmark dari Institut Air Internasional Stockholm menghitung, kebutuhan tiap orang minimum 1.000 meter kubik air per tahun untuk minum, mandi, dan makan. Dengan mengetahui sedemikian besar kebutuhan air per tahun, diharapkan manusia sadar untuk memelihara sumber-sumber air bersih.

Menurut para ilmuwan, kelangkaan air sebagian besar karena populasi naik, perubahan iklim global, dan banyak berkurangnya daerah sumber air. Sumber air bersih juga terancam oleh pemborosan, ketidakstabilan politik, bahkan konflik bersenjata. Kegagalan mengambil tindakan dapat berdampak luas.

Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih mungkin bisa mengacu pada langkah Saline Water Conservation Corp, organisasi yang melakukan konversi air laut di Arab Saudi. Fehied Al-Sharef, Gubernur Saline Water Conservation Corp, mengungkapkan bahwa terobosan teknologi memungkinkan negara-negara melakukan daur ulang air kotor dan menghilangkan kadar garam dalam air laut.

Toh, hal itu tidak menyelesaikan masalah, karena teknologi semacam ini bisa sangat mahal. Menurut dia, cara jitu menghadapi persoalan air bersih adalah dengan menghemat air dalam rumah tangga. Menurut Al-Sharef, Arab Saudi menghemat 40% hingga 50% air bersih dengan melakukan kampanye anti-pemborosan air.

Kampanye itu diikuti upaya nyata dengan menambal pipa-pipa air yang bocor. Organisasinya juga membagi-bagikan alat penghemat air secara cuma-cuma. Dalam kurun waktu dua minggu, aksi itu menunjukkan hasil. Tentu, tanpa penghematan, sangat sulit menekan krisis air dunia.

Sebuah studi bertajuk ''Water for Food, Water for Life'' (''Air untuk Makan, Air untuk Hidup'') menunjukkan, semakin tinggi penghasilan, semakin besar kebutuhan airnya. Sebagai contoh, pada akhir 1990-an, dimulai penggunaan air secara global dari tahun 2000 sampai 2050. Studi itu menunjukkan, kebutuhan air dunia melonjak dari 3.350 kilometer kubik (setara dengan volume air Danau Huron di Amerika Utara) hingga 4.900 kilometer kubik seiring dengan makin makmurnya manusia. Padahal, satu kilometer kubik air setara dengan 400.000 kolam renang standar Olimpiade.

Jika peningkatan kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi, akan timbul krisis yang akut. Dunia yang dahaga akan mendorong berbagai tindakan, dari migrasi penduduk secara besar-besaran hingga perang. Hal ini hanya bisa dihindari dengan menemukan cara untuk menyediakan air bersih.

Namun, sementara para ilmuwan dan pemerintah mencari cara untuk memuaskan bumi yang dahaga, ancaman lain membayang di depan mata. Apa lagi kalau bukan pemanasan global. Naiknya permukaan air laut mendesakkan air asin ke simpanan air tawar bawah tanah. Selain itu, berubahnya pola cuaca memperhebat kekeringan di Afrika, selatan Eropa dan Asia, seperti disebutkan badan PBB, Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).

Para ahli dan pembuat kebijakan menunjuk tiga kategori besar inisiatif untuk meredakan masalah kekurangan air bersih layak minum, terutama di kawasan-kawasan paling miskin di dunia, yaitu: sanitasi, penyulingan, dan manajemen air. Air bersih dan sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia. Namun, sayang, pemenuhan kebutuhan itu belum sepenuhnya berjalan baik di berbagai belahan dunia.

Laporan WHO pada Desember 2006 menunjukkan, sekitar 1,6 juta balita meninggal akibat air yang tidak aman dan lingkungan hidup yang tidak higienis. Artinya, terjadi kematian 4.500 anak setiap tahun. Penyakit yang terkait sumber air kotor yang menimpa masyarakat, antara lain, diare dan penyakit lain akibat parasit. Sanitasi yang tidak terjamin juga meningkatkan risiko penyakit kolera, tifoid, dan disentri.

Wilayah Sub-Sahara, Afrika, masih menjadi fokus perhatian dunia. Sebanyak 80% penduduk di sana diperkirakan tidak memiliki akses pada sumber air. Hal yang sama terjadi di Asia Timur dan Asia Tenggara. Tahun 2000, dunia berjanji menurunkan separuh orang yang tidak memiliki akses pada air minum dan sanitasi dasar. Laporan berjudul "MDG Drinking Water and Sanitation Target-The Urban and Rural Challenge of the Decade" menyatakan, butuh upaya dua kali lipat dari yang ada pada saat ini untuk memenuhi target pemenuhan air minum dan sanitasi dasar di seluruh dunia.

Sementara itu, biaya untuk memperbaiki dan memodernisasi prasarana air di Amerika Serikat dan Kanada untuk menjamin kelangsungan upaya itu cukup tinggi. Booz Allen Hamilton dari perusahaan konsultan memperkirakan, kedua negara itu memerlukan US$ 3,6 trilyun untuk membangun dan memelihara sistem pengelolaan air dalam kurun waktu 25 tahun. Mengingat mahalnya biaya untuk mengelola air, sudah waktunya kita untuk menghematnya.



Lalu bagaimana dengan Kabupaten Bangka, apakah kita juga mengalami persoalan yang sama atau bahkan lebih berat? Ternyata kita sudah mulai merasakan gejala itu. BPS melaporkan bahwa hanya 54,14 persen saja masyarakat Kabupaten Bangka yang memiliki akses terhadap air bersih. Jumlah ini diperkirakan akan terus menurun sejalan dengan degradasi lingkungan. Sumber, cadangan, volume dan kualitas air drastic akibat penambangan timah yang tidak terkendali. Disisi lain, air tanah juga mulai mengalami eksploitasi besar-besaran, sementara palung-palung air tanah terutama untuk sebagian besar wilayah terisi rembesan (intrusi) air laut.

Kondisi ini disebabkan Penambangan yang tidak terkendali telah merambah ke wilayah-wilayah yang merupakan fungsi lindung dan sumber air, sehingga menyebabkan jumlah luas hutan, lahan dan daerah aliran sungai kritis semakin meningkat. Dari sisi lain, pengelolaan limbah pertambangan yang tidak managable telah mengakibatkan banyak sumber air yang menjadi sumber air baku bagi masyarakat mengalami pencemaran hebat. Sungai-sungai mengalami pencemaran dan pendangkalan, air tanah permukaan mengalami penurunan kapasitas. Sementara untuk beberapa kecamatan yang berdekatan dengan pantai, air tanah mengalami intrusi air laut yang korosif dan sudah tercemar limbah TI apung. Penyakit generative dan degenaratif banyak bermunculan yang diduga berkaitan erat dengan konsumsi air yang telah tercemar ini. Selain penyakit kulit, penyakit generative yang terekspos ke permukaan adalah adanya fenomena kelahiran bayi dengan usus terburai atau tanpa tempurung kepala. Jika dalam kondisi normal, penyakit generative seperti ini hanya terjadi pada satu dari 200.000 kelahiran, maka di Bangka Belitung, dalam dua tahun terakhir telah terjadi setidaknya 5 kasus yang mencengangkan.



http://ampl.bangka.go.id/link_artikel.php?judul_id=Artikel%201






Air, Kemiskinan dan MDGs Pokja AMPL

(dikutip dari artikel Koran Sindo, 27 Maret 2007 Oleh AKHMAD FAUZI, PhD. Pengajar Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB)

Coping with Water Scarcity atau mengatasi kelangkaan air yang menjadi tema hari air sedunia kali ini yang jatuh pada tanggal 22 Maret lalu, mungkin tidak begitu dirasakan getarannya di tengah musim hujan yang masih mengguyur wilayah Indonesia saat ini.

Kita memang sering take it for granted terhadap air yang menjadi barang ultra esensial bagi kehidupan manusia. Bahkan, dalam ilmu ekonomi dikenal adanya istilah water-diamond paradox yaitu air yang begitu esensial dinilai begitu murah sementara berlian yang hanya sebatas perhiasan dinilai begitu mahal.

Namun, bukan tanpa alasan jika hari air sedunia lalu bertemakan bagaimana mengatasi kelangkaan air tersebut. Secara fisik mungkin kelangkaan air hanya dirasakan pada musim kemarau.Namun,secara ekonomi dan sosial, kelangkaan terhadap air dirasakan hampir setiap hari, khususnya air bersih yang dalam laporan UNDP dikatakan sebagai sumber pemicu yang dahsyat terhadap timbulnya ketidakadilan, kemiskinan, konflik sosial, dan masalah kesehatan.

Sumber daya air adalah salah satu sumber daya alam yang mengalami tekanan yang berat di abad ke-21 ini di tengah meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi masyarakat, serta kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Bahkan, The Observer mensinyalir akan terjadi ”perang air” (water wars) pada tahun 2020 mendatang jika sumber daya ini tidak ditangani secara serius dari sekarang.

Era ketersediaan air yang melimpah dengan kebutuhan yang tidak terkendala serta risiko lingkungan yang rendah sudah dianggap sejarah masa lalu.Buktibukti empiris menunjukkan bahwa bahkan di negara-negara subtropis sekalipun, di mana ketersediaan air relatif banyak, sumber daya air tidak lagi diperlakukan sebagai free good. Bagaimana kemudian kita menyikapinya?

Sebagaimana dirilis oleh Human Development Report dari UNDP,krisis kelangkaan air bukanlah berakar pada kelangkaan fisik,namun lebih pada penguasaan atas air, ketidaksetaraan dan kemiskinan. Saat ini ada sekitar 1,1 miliar penduduk negara berkembang,termasuk Indonesia, tidak memiliki akses yang cukup terhadap air bersih dan 2,6 miliar penduduk negara berkembang juga tidak memiliki sanitasi dasar.Penduduk miskin di perkotaan seperti Jakarta bahkan harus membayar per unit air 5 sampai 10 kali lebih mahal daripada penduduk kelas menengah ke atas.

Kondisi ini menyebabkan sulitnya memutus lingkaran kemiskinan dan buruknya lingkungan penduduk miskin perkotaan sehingga memicu permasalahan sosial lainnya. Oleh karena itu,diperlukan terobosan kebijakan terhadap penyediaan atas air ini. Investasi publik sangat dibutuhkan agar air tidak menjadi ''full economic goods”. Investasi publik atas air juga dibutuhkan untuk mencegah kerugian ekonomi akibat krisis air. Kerugian ini bisa mencapai cukup besar.

Sebagai contoh negara-negara Afrika yang sering mengalami krisis air mengalami kerugian sekitar USD28,4 miliar per tahun. Padahal, beberapa studi menunjukkan setiap USD1 investasi di sektor ini sudah bisa membangkitkan USD8 produktivitas di sektor lainnya sehingga rantai kemiskinan bisa dikurangi. Kita juga perlu menyikapi masalah sumber daya air ini secara serius kalau kita mau komitmen terhadap pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang kini tengah gencar-gencarnya diiklankan di salah satu station TV swasta.

Masalah akses terhadap air bersih merupakan tujuan ketujuh dari MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015. Oleh karena itu, diperlukan ”political will” yang kuat untuk mencapai tujuan tersebut dengan mengarahkan kebijakan makro ekonomi yang bersifat resource friendly. Kelangkaan” atas air lebih sering dipicu oleh kegagalan kebijakan (policy failiure) daripada faktor alam.

Sistem perhitungan ekonomi nasional sering tidak memperhatikan ecological debt dan gagal dalam menangkap biaya deplesi atas modal sumber daya alam yang relatif terbatas. Ini terbukti dengan banyaknya alih fungsi lahan dan hilang atau berkurangnya situ-situ karena terkalahkan oleh kebijakan yang mementingkan kepentingan ekonomi yang bersifat myopic. Karena itu, sistem akuntansi sumber daya semestinya dapat menjadi pertimbangan kebijakan ekonomi baik pada tingkat lokal maupun nasional dan bukan sebatas wacana akademis semata.

Pengelolaan dari Sisi Permintaan dan Kelembagaan

Aspek lain yang penting dalam menjawab permasalahan sumber daya air adalah pengelolaan pada sisi permintaan serta aspek kelembagaan yang menyertainya. Suplai air memang bisa saja ditingkatkan (augmented) melalui rekayasa teknik. Namun, pilihan ini bisa sangat terbatas manakala ketersediaan air secara alamiah tidak mendukung. Oleh karena itu, selain sisi suplai, penting juga melakukan pengelolaan pada sisi permintaan.

Kebijakan sisi permintaan ini terbukti di beberapa negara lebih efektif. Kebijakan ini antara lain berupa peningkatan ”crop per drop” pada produk-produk pertanian sehingga produk pertanian dapat ditingkatkan dengan penggunaan air yang lebih efisien, serta kebijakan ”water pricing”yang bisa mencerminkan nilai ekonomi kelangkaan air. Kebijakan menyangkut water pricing ini juga sesuai dengan amanat Prinsip Dublin (Dublin Principles) atas sumber daya air di mana selain aspek ekologi dan kemasyarakatan, juga diperlukan prinsip instrumen pengelolaan air yang efisien mengikuti kaidah-kaidah dan instrumen ekonomi yang efektif.

Dari sisi kelembagaan,Carruthers dan Morrison (1996) misalnya melihat bagaimana kegagalan pengelolaan sumber daya air di beberapa negara terjadi karena terabaikannya aspek kelembagaan. Hal ini disebabkan dimensi ekonomi dari sumber daya air yang begitu beragam dari barang publik,barang privat sampai nilai opsi yang dimiliki sumber daya air. Dengan demikian, kalaupun ‘'privatisasi'' pengelolaan sumber daya air terpaksa dilakukan, maka ia harus dihadapkan pada kendala kelembagaan.

Sehingga sering kemudian kita melihat bahwa kriteria efisiensi yang menjadi tujuan dilakukannya privatisasi menjadi tidak sejalan dengan struktur kelembagaan yang ada dalam masyarakat.Pengelolaan sumber daya air dalam konteks ekonomi kelembagaan harus mempertimbangkan aspek keseimbangan (stability), ketahanan (resiliency),dan kesetaraan (equity)

. http://ampl.bangka.go.id/link_artikel.php?judul_id=Artikel%202









Bisakah Kita Mewujudkan PDAM di Perdesaan?

Akankah kita mampu memenuhi target MDGs di sektor air minum? Apa saja peran masyarakat untuk membantu pemerintah dalam penyediaan air minum (PAM)? Sektor air minum ialah hajat yang terus tumbuh, tak hanya di kota-kota tapi juga di desa desa.

Masalahnya, sedikit masyarakat yang paham cara memanfaatkan sumber airnya sehingga bergantung terus pada bantuan pemerintah. Padahal swadaya lebih potensial dalam pengelolaan air dan hanya perlu sedikit urusan dengan dinas dinas, khususnya yang terkait dengan mata air (spring).

Faktanya, ada banyak sumber mata air tetapi lokasinya terpencil. Ada yang jauh, ada yang di bawah permukiman, adajuga yang tersebar di beberapa tempat sehingga kecil kecil debitnya. Kalau mata airnya di bawah desa tentu perlu dipompa, perlu listrik atau generator set (genset). Bisa juga dibuatkan pembangkit listrik mikrohidro jika debitnya memenuhi syarat. Selain itu dapat dipasang pompa yang mampu menaikkan air tanpa listrik, yaitu pompa hydram (hydraulic ram automatic). Hanya saja, perolehan airnya 30 40% dari total air yang masuk ke pompa tersebut.

Komponen Sistem

Masyarakat sebetulnya mampu mendapatkan air minum secara swadaya. Tanpa bantuan konsultan pun dan tanpa harus menunggu bantuan teknis dan finansial dari pemerintah, warga perdesaan mampu memperoleh air minum secara ekonomis dan memenuhi aspek hidrolika dengan perhitungan sistem dan biaya yang minimal. Tak perlulah pendidikan setara sarjana karena sebatas kalkulasi matematis yang sederhana dengan pola pemipaan yang juga sederhana, tak banyak loop seperti dalam sistem PAM di perkotaan.

Jamak diketahui, sistem penyediaan air minum (SPAM) dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu sumber, instalasi, transmisi dan distribusi. Dari sisi rekayasa PAM yang meliputi aspek sumber daya air, teknologi instalasi, pola pemipaan dan hidrolikanya tentu butuh banyak waktu untuk mendesainnya. Apalagi kalau luas cakupan layanannya dan besar kebutuhan airnya. Namun demikian, khusus PAM di perdesaan ini, yang dibutuhkan warga ialah hat hal praktis implementatif, dapat diterapkan oleh warga desa yang belum mengenal formula hidrolika. Dibawah ini dibahas ringkas komponennya.

Yang kesatu, sumber air. Bisa berupa mata air, bisa juga sungai atau danau. Yang ekonomis ialah mata air sebab kualitas fisika dan bakteriologinya sudah bagus. Secara kimia pun umumnya memenuhi syarat walau kadang kadang kadar besi, mangan, dan kesadahannya berlebih. Agar aman pagarilah sekelilingnya dan buatkan bak tangkap mata air (Belanda: broncaptering). Debitnya bergantung pada jenis akifernya (aquifer, pepundi air) dan dipengaruhi oleh posisi lapisan kedap (impervious layer) di dalam pepundinya, apakah berupa air tanah bebas (unconfined aquiftr) ataukah air tanah tak bebas (confined aquifer). Ini pun ditentukan oleh parasitas (perviousness) pepundi, bukan oleh porositas (porosity) pasir. Yang terbaik ialah mata air dari air tanah tak bebas atau artesis (artesian spring: istilah yang merujuk pada desa artois di Perancis).

Yang kedua, instalasi. Kalau memanfaatkan mata air, tak perlulah instalasi seperti yang dibuat PDAM, yaitu pengolahan lengkap (complete treatment) untuk air sungai. Namun tetap bisa menggunakan pengolahan praktis untuk air sungai Yang relative jernih, belum terkontaminasi pesti sida. Teknologi sederhana (appropriate technology) pengolahannya sudah ditulis di MAM ini dalam bentuk bermacam macam filter tepat guna. Sebagai upaya preventif, berilah kaporit di bak tampungnya sebelum digunakan untuk memasak, menyikat gigi, berkumur kumur, minum, dll.

Yang ketiga, transmisi. Antara lokasi mata air dan daerah permukiman pasti ada jaraknya, sependek apapun itu. Jarak ini harus ditempuh dengan memasang pipa penyalur air dari mata air ke bak tampung (reservoir) di dekat balai desa atau di lokasi tertentu yang tepat secara hidrolika. Pemipaan transmisi ini hendaklah dipasang di lokasi aman, di sisi jalan agar mudah dikontrol dan gampang diperbaiki. Kalau airnya berupa air baku, biasa disebut pipa transmisi air baku. Kalau yang dibawanya air bersih, yaitu air olahan, baik hanya diberi kaporit maupun diolah secara lengkap, biasa disebut pipa transmisi air bersih.

Berkaitan dengan transmisi ini, catatlah lokasi dan lebar sungainya agar dapat dihitung kebutuhan jembatan pipanya. Tapi usahakan hindari sungai agar tidak ada jembatan pipa sehingga biayanya murah. Letakkan pipa mengikuti alur atau profil tanah, hindari lokasi yang sulit dijangkau. Sediakanlah alat penguras (blow off) di lokasi dekat sungai atau selokan dan dipasang di tempat terendah untuk membuang lumpur (kalau ada) dan membuang air kalau ada kerusakan (darurat, emergency). Bergantung pada elevasinya, mungkin perlu dibuatkan bak pelepas tekanan (BPT) di tempat tertentu di sepanjang pipa transmisi.

Yang keempat, distribusi, yaitu daerah layanan (servis). Didesa biasnya terdiri atas rumah penduduk, balai desa, masjid, sekolah dasar dan puskesman. Mungkin ada juga industri kecil, pabrik tahu, tempe, kue dll.. Bisa juga dibuatkan bak tampung (reservoir distribusi) di tempat tertinggi di desa itu. Dipilih tempat tertinggi agar airnya bisa mengalir ke rumah penduduk yang terjauh dan masih memiliki tekanan sisa (residual head) minimal 5 meter kolom air. Bak tampung ini pun berfungsi mengumpulkan air saat tidak digunakan, misalnya pada malam hari dan memasok air tambahan ketika banyak yang menggunakannya pada pagi dan sore hari.

Tahap Kerja

Prinsipnya, semua pekerjaan seperti iuran, perencanaan, pekerjaan fisik, dan membeli barang dilaksanakan dengan gotong-royong. Warga desa yang tamat SMA, SMK, atau MA dapat berperan sebagai "konsultan" perencana untuk menghitung panjang pipa, diameter, aksesoris pipa, lokasi bak tampung, kran umum, sambungan rumah, dan kebutuhan konstruksinya. Pembagian air di antara warga desa wajib dimusyawarahkan untuk menihilkan dampak negatifnya seperti berebut air.

Berikut ini tahap kerjanya :

Tahap satu, pilihlah sumber airnya. Jika ada satu mata air, tentu tak perlu memilih. Kalau lebih dari satu, pertimbangkanlah debitnya. Pilih yang terbesar. Debit terbesar ialah debit minimum menjelang musim hujan dan harus lebih besar daripada kebutuhan air total warga desa. Perlu diketahui juga debit reratanya. Debitnya itu dapat dihitung dengan mudah. Sediakanlah ember yang sudah diketahui volumenya dan arloji atau stopwatch. Tampunglah air sambil diukur dengan stopwatch. Volume ember dibagi kebutuhan waktu untuk mengisinya sama dengan debit, dalam liter per detik.

Dari beberapa mata air itu, prioritas pertama ialah artesian spring, lalu gravity, spring, dan surface (atmospheric) spring. Pilihlah yang terdekat dengan desa agar murah biaya pipa dan galiannya dan mudah dipantau. Usahakan yang lebih tinggi elevasinya agar mampu mengalir ke tempat terjauh di desa. Tentang pernbuatan broncaptering, berhati hatilah agar tinggi muka airnya tidak bertambah karena dapat mengalihkan titik keluar airnya, pindah ke lain tempat. Kalau ini terjadi, rugilah pembuatan bak tampung mata airnya dan hanya menjadi monumen.

Tahap dua, hitunglah kebutuhan air seluruh warga untuk mengetahui besaran sistem, yaitu debit air yang mencukupi kebutuhan semua orang di desa itu. Lakukanlah survei sederhana berkaitan dengan jumlah kepala keluarga, jumlah orang per keluarga, kebutuhan air rerata untuk masak, mandi, cuci, kakus, kebun, dll, termasuk untuk fasilitas umum dan sosial. Pekerjaan ini memakan waktu. dan tenaga. Bisajuga minta data nomogram dan data sensus penduduk. Kalau ini pun sulit didapat, perkirakan saja kebutuhan airnya 50-60 liter per orang per hari (loh) untuk sambungan rumah. Angka ini sudah mencukupiuntukperdesaan.

Tahap tiga, tentukan jumlah pelanggan dan kran umum. Pelanggan rumah ialah yang menerima air langsung dirumahnya dan dipasangi meter air untuk mengetahui pemakaian airnya berbulan dan ini menentukan jumlah air yang wajib dibayarnya. bagaimana, air ini tetap haruis dibayar untuk biaya operasi seperti pembelian kaporit da perwatan (penggantian)pipa serta sumber air. Juga untuk honor petugas penjaga mata air dan jaringan pipanya. Warga hendaklah sadar bahwa iuran itu justru untuk memudahkan mereka dalam memperolehair,bisahidup lebih bersih dan sehat. Selain pelanggan rumah atau sambungan rumah, ada lagi yang berlangganan secara kolektif lewat kran umum. Mereka pun tetap harus iuran untuk operasi dan perawatan pipa tetapi lebih murah ketimbang pelanggan rumah. Tentu saja besar tarif airnya bisa dimusyawarahkan dengan masyarakat dan aparat desa. Terkait dengan kran umum ini, tempatkanlah di dekat sekelompok rumah. Satu kran umum bisa untuk 10 15 rumah. Angka ini pun bisa berubah sesuai dengan debit airnya, volume tangki yang dibuat dan kebijakan yang diambil warga, khususnya "konsultan" air. Adapun reservoirnya dibuat di lokasi tertinggi di desa itu atau dalam bentuk tangki tinggi (elevatedtank).

Tahap empat, peletakan pipa. Pasanglah pipa di tepi jalan utama agar mudah dipantau dan cepat diketahui jika ada yang pecah. Catat dan tandai jalan, sungai, jembatan, selokan, sawah, kanal, dll pada peta desa. Buatlah lajur pipa yang terpendek agar lebih murah dan pilihlah jenis pipanya. Pilih pipa yang relatif murah tetapi kuat, yaitu yang mampu menahan tekanan kerja air minimal 10 bar atau 10 atmosfer alias 100 meter kolom air. Bahannya bisa PVC, baja, besi tuang, dll. Di desa umumnya digunakan pipa PVC kecuali kasus tertentu yang terkait dengan kondisi lapangan yang berbatu, tanahnya labil, melewati sungai lebar, kanal, dll.

Tahap lima, operasi rawat. Tahap akhir ini jauh lebih berat keimbang pengerahan dana dan daya masyarakat. banyak PAM di pedesaan yangn akhirnya menjadi pipa tanpa air dan tak terawat lantaran masyarakat tidak bisa merasa ikut memilikinya. Tak ada sense of belogging. Oleh sebab itu, PAM dipedesaan sebetulnya bisa langgeng beroperasi kalau dirawat oleh warga desa dan semuanya bertanggung jawab. Apalagi kalau berasal dari kerja keras dan keringat semua warga desa. Disinilah pentingnya mengajak semua warga desa sejak awal ide, perencanaan, pembelian pipa, konstruksi dan operasi rawatnya.



Demkianlah dan selamat mencoba menyalurkan air dari kaki gunung atau dari mana saja kedesa masing-masing. Jadilah partisipan dalam mebangun sektor keaira. Khusunya air minum demi kesehatan kita dan menambah poin dalam MDGs

http://ampl.bangka.go.id/link_artikel.php?judul_id=Artikel%203






Ketahanan Air Kabupaten Bangka : Realisasikah?

M. KAMIL ABUBAKAR, MEGAWATI SOEROSO DAN PAN BUDI MARWOTO

POKJA AMPL KABUPATEN BANGKA

Menurut data Bank Dunia pada tahun 2006, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat 108 juta penduduk atau sekitar 47 persen yang memiliki akses air terhadap air bersih yang aman untuk dikonsumsi. Berarti selebihnya 53 pesen penduduk Indonesia (lebih dari separo) belum mendapatkan air bersih. Dalam skala Kabupaten Bangka, BPS provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2007, melaporkan bahwa hanya 54,14 persen saja masyarakat Kabupaten Bangka yang memiliki akses terhadap air bersih, yang berarti 48,16 persen masyarakat sisanya belum mendapatkan air bersih. Padahal data juga menunjukkan bahwa 6 persen potensi air dunia atau 21 persen potensi air Asia terdapat di Indonesia. Ironis memang negara yang kaya air ternyata masih belum dapat dinikmati kekayaan tersebut oleh mayoritas penduduk.

Uraian ini air hanya dilihat dari satu aspek yaitu untuk kebutuhan rumah tangga, padahal air telah menjadi sangat dominan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Disamping kebutuhan rumah tangga air juga berfungsi sebagai variabel penting tentang keberhasilan pangan atau pertanian dan air juga berpotensi sebagai penyedia energi. Maka sudah semestinya perhatian Pemkab Bangka tentang air harus terus meningkatng, apalagi setiap memasuki kemarau, berita tentang air pasti akan semakin mengemuka dan gencar. Sebagaimana biasanya setiap siklus musim kemarau di Bangka selalu menghadapi ‘defisit air'. Dari tahun ke tahun kekeringan terjadi dirasa semakin meluas, seolah musim telah berubah, curah hujan yang turun semakin berkurang sehingga air semakin kurang keberadaannya.

Defisit air paling nyata dan mudah diukur pada sektor pertanian, karena sektor ini merupakan ‘penderita terakhir' dari bencana kekeringan. Kemerosotan hasil bahkan kegagalan panen yang menyebabkan melesetnya angka ramalan produksi pangan (khususnya beras) adalah ukuran yang nyata dari pengaruh kekeringan. Itulah sebabnya bencana kekeringan baru banyak mendapat sorotan dan pemberitaan ketika semakin luas lahan pertanian tanaman pangan ‘menjerit' kekeringan. Di Propinsi Jawa Barat saja tahun lalu kekeringan menimbulkan potensi kerugian hingga Rp 625 miliar. Kesulitan air itu terjadi di 20 kabupaten dan 417 kecamatan, dan sebagian besar melanda lahan sawah. Belum lagi di propinsi lainnya di wilayah Indonesia. Kalau diakumulasikan mungkin dapat mencapai triliunan rupiah. Padahal air hujan yang jatuh di bumi Indonesia sekitar 2.779 mm dalam setahun. Dari 2.779 mm air hujan yang gratis itu, sekitar 66 persen menjadi air limpasan permukaan (run off) yang sebagian besar melimpas kembali ke laut lepas bergabung dengan air asin sehingga tidak termanfaatkan.

Tidak kah Kita berpikir panjang ke depan bahwa air sebagai salah satu variabel dalam ketahanan belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh? Penduduk Kabupaten Bangka yang sebagian besar atau nyaris 33 persen adalah patani sudah pasti ketergantungan keberadaan akan air sangat besar.

Ketersediaan air yang cukup bagi petani akan menjadikan penghasilan petani meningkat dan sudah pasti megurangi angka kemiskinan. Konsep teoritis: air kita berlimpah, tanah kita subur pasti petani kita juga makmur. Semua aspek kehidupan keluarga petani mulai dari pendidikan, kesehatan dan kemudahan lainnya dengan sendirinya akan membaik kalau konsep teoritis ini diimplementasikan dalam bentuk program fisik yang tepat sasaran. Kalau kita perpikir secara rasional masa kini dan masa depan maka pembangunan infrastruktur dan manajemen pengelolaan air semestinya selalu mendapat prioritas utama dalam sektor pembangunan.

Di Kabupaten Bangka sebetulnya tidak ada kelangkaan air. Air hujan yang jatuh dari langit sangat lebih dari cukup untuk kebutuhan 240 ribu penduduk Bangka. Buktinya kekayaan kita terhadap air ini adalah bermainnya tangan konglomerat dunia melalui Bank Dunia untuk memberi peluang tentang komersialisasi dan privatisasi sumber daya air (SDA) di dalam Undang-Undang Sumber Daya Air, dan merupakan salah satu syarat bagi cairnya pinjaman Pemerintah Indonesia kepada Bank Dunia. Yang ada kenyataannya adalah ketidakmampuan kita mengelola sumber daya air yang berlimpah ini. Akankah ‘jerit kekeringan' rumah tangga dan lahan pertanian ini dibiarkan terus berulang dari tahun ke tahun?

Karena air adalah sumber bahan pangan yang sangat mungkin dikelola, maka Ketahanan Air Kabupaten Bangka terkait erat dengan pembangunan daerah. Dengan Ketahanan air yang baik akan memudahkan terwujudnya pembangunan yang produktif. Jadi bukan hanya sebatas pada aktivitas jargon AMPL (air minum dan penyehatan lingkungan) saja, tetapi mengandung aspek dimensi yang begitu luas. Bukan tidak mungkin ketahanan air ini akan jadi amunisi politik pada pesta pilkada yang akan datang. Mari kita mulai dari diri kita program hemat air, program kampanye hemat air perlu pula dilakukan secara berkelanjutan. Iklan di BTV, Bangka Pos, Babel Pos, Rakyat Pos dan berbagai radio kiranya lebih baik didanai Pemkab Bangka daripada nantinya dana bermilyar-milyar dibelanjakan untuk membeli air dari luar.

http://ampl.bangka.go.id/link_artikel.php?judul_id=Artikel%206







Apakah Bangka Termasuk Daerah yang Minim Akses Sanitasi?

M. KAMIL ABUBAKAR, PAN BUDI MARWOTO DAN MEGAWATI SOEROSO

Kabupaten ini sungguh belum mengalami kemajuan yang amat serius di beberapa bidang kehidupan. Termasuk hal-hal yang paling dasar dan paling sederhana sekalipun. BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merilis bahwa hanya sekitar 50 persen saja masyarakat Kabupaten Bangka yang memiliki akses terhadap sanitasi yang baik. Salah satu contohnya adalah buruknya menjaga kebersihan dan lingkungan. Membuang sampah, membersihkan kamar mandi, WC, misalnya, adalah hal-hal sederhana yang buat daerah ini masih harus belajar keras. Penggiat AMPL tahu betul tabiat buruk ini dalam menjaga kebersihan. Karena itu, seringkali ditekankan soal bagaimana menjaga lingkungan dan pentingnya menanamkan pola hidup bersih sejak dini. Untuk yang kesekian kalinya ditegaskan bahwa kerusakan lingkungan sebagian besar karena ulah manusia. Pembabatan hutan, merusak terumbu karang, mencemari laut, dan menambang secara serampangan pasti akan membawa bencana.

Selain mengingatkan betapa berbahaya soal perusakan alam, penggiat AMPL juga minta masyarakat khususnya para guru mulai TK hingga SMA dan para pemimpin daerah, agar menanamkan budaya bersih sejak dini. Pola hidup bersih sejak kecil inilah yang diharapkan kelak akan melahirkan orang-orang yang bersih hati dan jiwa, sehingga akan jauh dari sifat koruptif. Bayangkan, dalam soal kebersihan yang paling dasar sekalipun, bahkan seorang presiden harus perlu mengingatkan. Tetapi, memang, lihat saja WC di sekolah-sekolah, di kantor-kantor pemerintah, di tempat-tempat ibadah, di rumah-rumah sakit, kondisinya amat jorok.

Sudah menjadi pengetahuan umum, di sebuah bangunan baru sekalipun, bagian yang paling cepat kotor, jorok, dan kemudian rusak, pastilah WC dan kamar mandi. Yang mengherankan, kondisi seperti ini seragam di mana saja. Sangat sedikit mereka yang peduli. Bahkan, dalam sebuah penelitian kesehatan internasional menyimpulkan, WC di Indonesia termasuk paling jorok di dunia. Dalam soal membuang sampah, tabiat kita juga amat buruk. Kita masih melihat pemandangan anak-anak sekolah, para mahasiswa, orang-orang terpelajar, terlebih lagi masyarakat biasa, membuang sampah sesukanya. Sampah bisa berserak di mana saja. Sangat sedikit lingkungan sekolah dan keluarga yang memberi contoh bagaimana membuang sampah pada tempatnya. Bayangkan, hanya untuk membersihkan WC, kamar mandi, membuang sampah pada tempatnya, kita belum mampu melakukannya secara benar. Padahal, itu semua tidak perlu kecerdasan otak. Ia hanya perlu tenaga dan kesadaran. Hal-hal dasar seperti itu saja bangsa ini belum mampu, apalagi bermimpi tentang hal-hal yang lebih rumit.

Budaya hidup bersih bukanlah perkara remeh. Ini perkara yang amat serius dan fundamental. Karena itu, Pemkab Bangka harus menjadikannya sebagai sebuah gerakan daerah. Sudah terbukti, daerah atau bahkan bangsa yang tidak mampu mengurus perkara-perkara dasar seperti itu, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa 'naik kelas', dengan konsekuensi maraknya penyakit-penyakit sanitasi yang diderita masyarakatnya. Pada tahun 2006, setidaknya terdapat 5.957 kasus penyakit sanitasi yang terjadi di Kabupaten Bangka. Jika dibandingkan dengan Indonesia, kasus kabupaten Bangka ini mungkin sama saja dengan daerah lainnya di Indonesia. Sebagai gambaran sederhana dapat dilihat dari data dari BPS pada 2004 lalu, persentase masyarakat yang terkena penyakit diare mencapai 5,24% atau 11,53 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia. Data ini turun jika dibandingkan dengan 2003 yang mencapai 5,32% atau sekitar 11,7 juta penderita. Lebih buruknya kondisi sanitasi di daerah perkotaan mengakibatkan jumlah penderita penyakit diare juga lebih banyak daripada di daerah perdesaan. Pada 2004, persentase penduduk perkotaan yang menderita penyakit diare mencapai 5,51%. Sementara itu, di perdesaan hanya 5,03%.

Meskipun demikian, buruknya sanitasi tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara berkembang lainnya. Lebih dari 40% penduduk dunia tidak menggunakan toilet untuk buang hajat. Mereka masih melakukannya di tempat terbuka atau tempat lain yang tidak sehat. Data WHO dan UNICEF menunjukkan di 2004 lebih dari 2 juta penduduk perdesaan di dunia tidak memiliki akses fasilitas sanitasi paling mendasar. Jangan heran bila sampai saat ini juga diare masih merupakan pembunuh bayi nomor dua setelah pneumonia. Sebanyak 100 ribu anak-anak meninggal setiap tahunnya akibat kasus diare. Menurut data UNESCO, kematian yang diakibatkan diare 2004, enam kali lebih besar jika dibanding dengan rata-rata kematian tahunan akibat perang bersenjata pada 1990-an.

Buruknya sanitasi juga akan berakibat terhambatnya proses pembangunan. Negara akan mengalami kerugian tidak sedikit. Menurut data yang dikeluarkan Bank Dunia sepanjang 2006-2007, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Indonesia mengalami kerugian sekitar US$9juta per tahun akibat sanitasi yang buruk. Sebaliknya bila keadaan sanitasi lebih baik, keuntungan berlipat akan diterima negara. Sebuah penelitian menunjukkan pembangunan sanitasi di negara-negara Asia akan memberikan keuntungan lima hingga 10 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Keuntungan utama yang diperoleh dari tersedianya sanitasi yang bagus adalah berkurangnya polusi, meningkatnya tingkat kesehatan, keuntungan ekonomi, dan tentu saja kita akan merasa nyaman hidup di tempat yang berkualitas.

http://ampl.bangka.go.id/link_artikel.php?judul_id=Artikel%2011





Pisang sebagai Buah Kehidupan

PISANG bisa disebutkan sebagai buah kehidupan. Kandungan kalium yang cukup banyak terdapat dalam buah ini mampu menurunkan tekanan darah, menjaga kesehatan jantung, dan memperlancar pengiriman oksigen ke otak. Kalau darah, jantung, dan otak terganggu, bukankah kehidupan manusia terancam?

Selain itu, kandungan Vitamin A yang tinggi dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap ISPA, kulit bersisik, dan kebutaan. Manfaat lain, pisang bisa menjadi pengganti makanan pokok, sehingga mengurangi ketergantungan rakyat Indonesia terhadap beras.

Manusia telah mengonsumsi pisang sejak zaman dahulu kala. Kata pisang berasal dari bahsa Arab, yaitu maus yang oleh Linneus dimasukkan ke dalam keluarga Musaceae, untuk memberikan penghargaan kepada Antonius Musa, yaitu seorang dokter pribadi kaisar Romawi (Octaviani Agustinus) yang menganjurkan untuk memakan pisang. Itulah sebabnya dalam bahasa latin, pisang disebut sebagai Musa paradisiacal

Menurut sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara yang oleh para penyebar agama Islam disebarkan ke Afrika Barat, Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Selanjutnya pisang menyebar ke seluruh dunia, meliputi daerah tropis dan subtropis. Negara-negara penghasil pisang yang terkenal di antaranya adalah: Brasilia, Filipina, Panama, Honduras, India, Equador, Thailand, Karibia, Columbia, Mexico, Venezuela, dan Hawai. Indonesia merupakan negara penghasil pisang nomor empat di dunia.

Di Asia, Indonesia termasuk penghasil pisang terbesar karena sekitar 50 persen produksi pisang Asia berasal dari Indonesia. Sentra produksi pisang di Indonesia adalah: Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Bogor, Purwakarta, Serang), Jawa Tengah (Demak, Pati, Banyumas, Sidorejo, Kesugihan, Kutosari, Pringsurat, Pemalang), Jawa Timur (Banyuwangi, Malang), Sumatera Utara (Padangsidempuan, Natal, Samosir, Tarutung), Sumatera Barat (Sungyang, Baso, Pasaman), Sumatera Selatan (Tebing Tinggi, OKI, OKU, Baturaja), Lampung (Kayu Agung, Metro), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Tanaman Serbaguna

Pisang telah lama akrab dengan masyarakat Indonesia, terbukti dari seringnya pohon pisang digunakan sebagai perlambang dalam berbagai upacara adat. Pohon pisang selalu melakukan regenerasi sebelum berbuah dan mati, yaitu melalui tunas-tunas yang tumbuh pada bonggolnya. Dengan cara itulah pohon pisang mempertahankan eksistensinya untuk memberikan manfaatkan kepada manusia. Filosofi tersebutlah yang mendasari penggunaan pohon pisang sebagai simbol niat luhur pada upacara pernikahan.

Iklim tropis yang sesuai serta kondisi tanah yang banyak mengandung humus memungkinkan tanaman pisang tersebar luas di Indonesia. Saat ini, hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil pisang.

Pisang tidak mengenal musim panen, dapat berbuah setiap saat. Hasilnya dapat mencapai 1 - 17 sisir setiap tandan atau 4 - 40 Kg per tandan, tergantung jenisnya. Dalam satu tandan pisang tanduk terdapat 1 - 7 sisir, sedangkan pada pisang ambon 7 - 17 sisir. Buahnya dapat dimakan langsung atau diolah terlebih dahulu.

Pasar pisang di dalam negeri sangat baik karena hampir semua masyarakat kita mengonsumsi pisang. Umumnya masyarakat menginginkan pisang yang rasanya manis atau manis sedikit asam, serta beraroma harum. Di pasaran, pisang dijual dengan berbagai tingkatan mutu, dengan harga yang sangat bervariasi satu sama lain.

Selain buahnya, tanaman pisang juga dapat dimanfaatkan dari bagian bonggol hingga daunnya. Bonggol tanaman pisang (berupa umbi batang) dan batang muda dapat diolah menjadi sayuran. Bunga pisang (dikenal sebagai jantung pisang) dapat digunakan untuk sayur, manisan, acar, maupun lalapan. Daunnya lazim digunakan untuk pembungkus makanan, yang dapat memberikan rasa harum spesifik pada nasi yang dibungkus dalam keadaan panas.

Jenis Pisang

Berdasarkan manfaatnya bagi kepentingan manusia, pohon pisang dibedakan atas tiga macam, yaitu pisang serat, pisang hias dan pisang buah. Pada pisang serat (Musa textilis), yang dimanfaatkan bukan buahnya, tetapi serat batangnya untuk pembuatan tekstil. Pisang hias umumnya ditanam bukan untuk diambil buahnya tetapi sebagai hiasan yang cantik, contohnya adalah pisang kipas dan pisang-pisangan.

Pisang buah (Musa paradisiaca) ditanam dengan tujuan untuk dimanfaatkan buahnya. Pisang buah dapat dibedakan atas empat golongan. Golongan pertama adalah yang dapat dimakan langsung setelah matang (disebut juga pisang meja), contohnya adalah: pisang kepok, susu, hijau, mas, raja, ambon kuning, ambon lumut, barangan, serta pisang cavendish.

Golongan kedua adalah yang dapat dimakan setelah diolah terlebih dahulu, contohnya pisang tanduk, oli, kapas, dan pisang bangkahulu. Golongan ketiga adalah pisang yang dapat dimakan langsung setelah masak maupun setelah diolah terlebih dahulu, contohnya pisang kepok dan pisang raja.

Golongan keempat adalah pisang yang dapat dimakan sewaktu masih mentah, misalnya pisang klutuk (pisang batu) yang berasa sepat dan enak untuk dibuat rujak. Pisang klutuk beserta kulitnya sering ditambahkan ke dalam rujak untuk mencegah sakit perut atau mules setelah makan rujak.

Di Indonesia, terdapat lebih dari 230 jenis pisang, tetapi yang umum dijual di pasaran dan umum dikonsumsi adalah: pisang barangan, raja, raja sereh, raja uli, raja jambe, raja molo, raja kul, raja tahun, raja bulu, kepok, tanduk, mas, ambon lumut, ambon kuning, nangka, kapas, kidang, lampung, dan pisang tongkat langit.

Buah pisang matang merupakan buah yang mudah busuk, karena kadar airnya yang cukup tinggi. Untuk memperpanjang daya awet dan daya gunanya, buah pisang dapat diolah menjadi berbagai produk. Buah pisang mentah dapat diolah menjadi gaplek, tepung, pati, sirop glukosa, tape, dan keripik. Buah pisang matang dapat diolah menjadi sale, selai, dodol, sari buah, anggur, pure, saos, nectar, pisang goreng, pisang epe, pisang rebus, kolak, getuk, ledre, pisang panggang keju, serta aneka kue lainnya.

Prof. DR. Made Astawan Dosen Di Departemen Teknologi, Pangan Dan Gizi-IPB

Sumber: www.kompas.com

http://barangjasa.com/kesehatan/pisang-sebagai-buah-kehidupan.html





Indonesia, Rokok dan Kemiskinan





Dewasa ini, tercatat bahwa dari sekitar 1,2 miliar perokok aktif di dunia, 800 juta di antaranya berada di negara sedang berkembang yang total penduduknya saat ini berkisar 1,3 miliar jiwa (Tobacco and Poverty, Mary Assunta, 2004). Sementara sebagian besar penduduk negara yang sedang berkembang adalah kaum miskin dengan status sosial ekonomi yang sangat rentan. Ironisnya, lebih setengah (61,5%) dari mereka tercatat sebagai perokok.

Benua Asia, termasuk Indonesia, kini tengah menjadi pasar yang cukup menjanjikan untuk perkembangan industri rokok. Rokok telah menjadi barang konsumsi yang kosmopolit – dengan sangat mudah diperoleh dan dinikmati kapan, di mana dan oleh siapa saja, sekaligus dengan sejumlah akibat yang ditimbulkannya. Industri rokok yang kini perlahan bermetamorfosis menjadi bisnis multinasional, banyak memosisikan wilayah ini sebagai sasaran distribusi yang paling utama, di samping karena jumlah konsumen yang memang banyak, juga karena pemerintah di sebagian besar kawasan ini relatif bersikap “welcome” terhadap hal ini.

Dari sisi pendapatan negara, cukai rokok memang menempati grade primadona; sekitar 98% pendapatan cukai berasal dari dan yang berhubungan dengan industri rokok. Target pendapatan cukai rokok pada tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan berarti di tengah gencarnya kampanye anti rokok. Tahun 2003 lalu, pemerintah kita menargetkan pendapatan cukai rokok sebesar Rp 27,6 trilyun per tahun. Tahun 2004, target pendapatan negara dari sektor ini meningkat hingga Rp 28,9 trilyun. Kali terakhir, pemerintah melalui APBN-Perubahan meningkatkan target pendapatan cukai rokok sebesar 31,4 trilyun. Jumlah ini terus berubah dari tahun ke tahun.

Rokok, yang secara keseluruhan rumus kimianya CvHwOtNySzSi, dipercaya telah diperkenalkan oleh golongan Indian Amerika Utara yang disebarkan ke benua Eropa pada sekitar Abad XVI oleh Christopher Columbus. Di Indonesia, industri rokok mulai dikenal sejak 1870 hingga 1880-an khususnya di pulau Jawa, dan mulai menyebar ke luar pulau Jawa pada pertengahan abad XX (Onghokham, Amen Budiman, 1987 : 114). Studi yang dilakukan oleh Indriyanto OS, seperti yang terangkum dalam bukunya “Rokok Kretek dan Etiketnya (2000)”, mengungkap suatu fenomena menarik dalam permasalahan merokok. Indriyanto menemukan bahwa pada awalnya orang merokok bukan karena faktor gengsi, kejantanan maupun untuk merubah penampilan, tetapi lebih untuk menghilangkan rasa muak, batuk, pusing dan perasaaan tidak enak lainnya, sehingga mereka memilih bersekutu dengan rokok.

Sejalan dengan perkembangan zaman, agaknya fenomena yang diuraikan Indriyanto di atas sudah kurang relevan dengan kondisi saat ini. Banyak perokok diketahui memulai “pekerjaannya” ini justru karena rasa penasaran, gengsi maupun sejumlah perasaan yang membutuhkan kompensasi psikologis lainnya. Kondisi ini acap kali kita jumpai pada kalangan remaja yang mulai menunjukkan presentase yang cukup signifikan untuk bilangan kelas pemula. Banyak anak-anak di bawah usia 15 tahun yang telah kecanduan (addiksi) merokok, seperti yang terjadi di India, dimana tercatat sekitar 5 juta jiwa anak merupakan kelompok perokok aktif.

Di Indonesia, disinyalir sekitar 44 persen perokok aktif merupakan kelompok muda yang berusia 10-19 tahun dan 37 persen di antara mereka berusia 20-29 tahun. Artinya, sebagian besar perokok pemula di Negara ini berasal dari kalangan pemuda, pelajar dan tentunya mahasiswa – kalangan yang merupakan usia produktif dalam perspektif pembangunan. Diperkirakan sekitar 85 juta penduduk Indonesia usia remaja saat ini akan menjadi perokok berat dan 12-13 juta diantaranya akan tutup usia dalam usia setengah baya. Dengan tingkat pertumbuhan perokok yang sangat cepat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai rekor dunia sebagai negara dengan jumlah perokok pemula terbesar di dunia, melengkapi deretan sejumlah “gelar dunia” lain yang telah diperoleh selama ini.

Menurut Bank Dunia (World Bank), golongan masyarakat yang termasuk miskin adalah kelompok 40 persen terbawah dalam struktur distribusi pendapatan suatu masyarakat, sementara 40 persen pada bagian tengah merupakan kelompok middle class, dan 20 persen lebihnya adalah kelompok kaya. Untuk konteks Indonesia, kelompok 40 persen terbawah merupakan golongan yang mayoritas, sementara 4o persen kelompok middle sementara berjuang untuk bias tetap eksis di tengah buruknya iklim perekonomian bangsa saat ini. Dalam pada itu, jumlah perokok aktif di Indonesia saat ini berkisar 70 persen dari total penduduk atau sekitar 141 juta jiwa. Sebagian besar di antara mereka adalah kelompok miskin.

Kerentanan kelompok miskin daru implikasi ekonomi, social maupun kesehatan, menjadi perhatian tersendiri dalam kaitannya dengan besaran jumlah perokok aktif di kalangan mereka. Pada tahun 1990 saja, kerugian masyarakat akibat merokok yang tercatat adalah sekitar 14,5 trilyun. Angka ini belum termasuk kerugian pemerintah atas pemakaian fasilitas perobatan dan pelayanan kesehatan oleh perokok aktif yang menderita sakit akibat komplikasi merokok. Besarnya kerugian ini sangat tidak berimbang dengan jumlah pendapatan pemerintah dari cukai rokok yang hanya 2,6 trilyun rupiah.

Sementara jika dikalkulasi, angka belanja rokok masyarakat perokok Indonesia tahun 1990 mencapai Rp 100 trilyun, sangat kontras jika dibandingkan dengan volume belanja obat-obatan yang hanya sebesar 20 trilyun rupiah (Dirjen Yankesfar Depkes; 1990). Keprihatinan semakin bertambah jika kita memeperhatikan rasio antara angka tingkat belanja rokok masyarakat kita dengan tingkat pembelian buku dan surat kabar (pendidikan) yang mencapai 47 : 2 (Sidjatmokok; 2000). Fenomena ini bukan saja menggambarkan konsentrasi perokok hanya di kalangan kaum miskin dan minim kesadaran pendidikan saja, tetapi juga sekaligus menjelaskan bahwa tingkat kerugian masyarakat dan pemerintah akibat rokok jauh tidak proporsional disbanding keuntungan ekonomi yang melandasi peredaran industri rokok di Indonesia.

Untuk selanjutnya, dalam skala mikrososial, kerugian yang diakibatkan oleh rokok dan kegiatan merokok selalu lebih besar dibandingkan jumlah keuntungan yang diperoleh, meskipun tingkat pendapatan dari cukai rokok terus ditingkatkan. Untuk sector kesehatan, pada tahun 1950 hanya terdapat sekitar 300.000 kematian pertahunnya akibat kebiasaan merokok di seluruh belahan dunia. Satu setengah dekade berikutnya, angka ini melonjak lebih dari tiga kali lipat atau berkisar 1 juta, meningkat lagi menjadi 1,5 juta di tahun 1975 dan 3 juta kematian pada tahun 1990-an. Dari 3 juta kematian ini, 2 juta terjadi di negara-negara maju dan sisanya di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia. Dengan mengikuti pola progresifitas kematian akibat merokok di atas, maka pada tahun 2005ini diperkirakan akan terjadi kematian akibat merokok berkisar 4,1 juta jiwa. Angka yang sangat fantastis!

Kebiasaan merokok terbukti berkaitan dengan sedikitnya 25 (bahkan lebih) jenis penyakit yang dapat mengenai berbagai organ tubuh manusia. Sebagian besar kematian akibat kebiasaan merokok disebabkan oleh kanker paru, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), dan penyakit-penyakit karsinogenik lainnya. Tentunya, sejumlah keluhan klinis dan rasa ketidaknyamanan hidup (living discomfort) mengawali perjalanan penyakit-penyakit di atas. Konsekuensinya, semua ini membutuhkan biaya pemeriksaan dan perawatan kesehatan sebelum benar-benar “sakit” akibat kebiasaan merokok. Lazimnya, pengeluaran biaya terbesar terjadi pada proses perkembangan penyakit seperti ini. Khusus untuk keluarga miskin, prioritas hidup keluarga mereka akahirnya akan terbagi :antara upaya “bertahan hidup” dan ikhtiar untuk “mengobati” si sakit. Dilema ini semakin diperparah oleh realitas sebagian besar perokok di kalangan miskin adalah tulang punggung dalam pencarian nafkah keluarga serta masih dalam usia produktif,mungkin ayah atau anak laki-laki yang ada dalam keluarga tersebut.

Dominasi masalah akibat kebiasan merokok pada kaum miskin telah mengakibatkan kemiskinan structural yang selama ini menggejala, perlahan bermetamorfosis menjadi kemiskinan sirkuler, artinya kaum miskin yang dilanda musibah akibat merokok akan semakin bertambah miskin jika diperhadapkan dengan realitas seperti di atas. Selanjutnya, beragam masalah social lain memperoleh “legalisasi” untuk muncul sebagai bentuk “kompensasi” ekonomi keluarga pasien yang sakit kronik. Lebih ironis lagi jika kita coba mengingat bahwa tingkat pendidikan dan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) sebagian besar mereka yang sangat rendah. Pada akhirnya, semua akan berakhir tragis : pasien akan meninggal akibat tidak mendapat perawatan kesehatan adekuat karena minim biaya, dan keluarga pasien akan kembali terjebak dalam kemiskinan yang jauh lebih berat daripada sebelumnya akibat kehilangan tenaga pencari nafkah dan kehabisan harta akibat biaya perawatan kesehatan si sakit sebelum meninggal.

Kompleksitas masalah merokok dewasa ini, semakin diperparah oleh minimnya keterlibatan pemerintah secara serius dalam menanggulanginya, bahkan kerap fenomena ini hanya dianggap angin lalu atau sebatas sebuah “kecelakaan” saja. Aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah rokok masih sangat sediki dan tidak cukup tegas menunjukkan komitmen perbaikan kehidupan rakyat. Peraturan Pemerintah No 81/1999 yang telah diperbaharui dengan PP No 38/2000 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, meskipun telah diberlakukan, tetapi law emforcement-nya belum ada, sehingga hanya terkesan untuk memuaskan kalangan pendukung kampanye anti tembakau saja. Belum lagi dengan ketaktegasan pemerintah dalam menjalankan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Tata Krama Periklanan. Sejauh ini, pelanggaran-pelanggaran atas peraturan yang ada menjadi kelaziman yang tak kunjung ditegasi oleh pemerintah, sementara kerugia akibat rokok, baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah sendiri, tetap terjadi dan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah produksi dan variasi rokok di Indonesia.

Kehadiran KOMNAS PPM (Komite Nasional Penanggulangan Masalah Merokok) tidak lebih sebagai pelengkap formal yurisdiksi keterlibatan pemerintah dalam menanggulangi masalah merokok yang belum jalan maksimal, termasuk dengan belum ditandatanganinya Konvensi Pengawasan Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FTTC) yang disponsori oleh WHO. Belakangan, sikap ambigu pemerintah kembali ditunjukkan dengan merencanakan peningkatan harga rokok yang berkisar 10-15 persen sebagai upaya memenuhi FTTC, sementara pada sisi lain target pendapatan cukai rokok juga ditingkatkan. Benarkah pemerintah dapat dikatakan sungguh-sungguh menyelesaikan problem rokok di negara ini?



http://lkpk.org/2009/04/05/indonesia-rokok-dan-kemiskinan/







Penyakit Diare di Indonesia



Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat oleh karena seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau musim-musim tertentu yaitu pada musim kemarau dan pada puncak musim hujan (Sunoto, 1990). Penyakit diare masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun 1999 sebesar 5 per 1000 penduduk dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit terbesar.



Program sarana air minum dan jamban keluarga (samijaga) telah digalakkan sejak tahun 1974, dengan harapan angka kesakitan dan kematian akibat diare akan berkurang. Namun demikian hingga kini penyakit diare masih tetap merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian, khususnya yang terjadi pada bayi dan anak di bawah lima tahun (balita). (Juianto P dan L. Ratna B, tahun 1999).

Pemerintah Indonesia telah berusaha meningkatkan program pengawasan diare dengan melakukan berbagai upaya penanggulangan, diantaranya dengan rnengembangkan larutan rehidrasi oral sesuai dengan anjuran WHO yang terdiri dari elektrolit, glukosa, yang lebih murah dan efektif untuk mengatasi dehidrasi non kholera (Depkes RI, 1993).

Prevalensi diare pada tahun 1997 adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil survey pada tahun 1991 sebesar 11 % dan tahun 1994 sebesar 12%.. Pada tahun 1997 prevalensi diare lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di perkotaan, tetapi membandingkan wilayah Jawa-Bali dengan luar Jawa-Bali tidak tampak perbedaan yang berarti (Julianto Pradono dan L. Ratna Budiarso, 1999).

Untuk mengetahui hubungan antara sanitas lingkungan dengan kejadian diare pada masyarakat perkotaan, telah diadakan suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa tingkat V FKUI, diantaranya adalah KR Margawani, C Wawolumaya, Sudjatmiko, H Paramita, Iwj Naibaho, JD Berliana, E Sulistio dan D Arif.

Pemilihan sampel dilakukan dengan metode sampling kluster terhadap 1088 KK yang bertempat tinggal di RW 08 dan 09 Kelurahan Kayu Manis, Kecamatan Matraman Jakarta Timur pada 22-28 Juni 1996. Pengumpulan data survei dilakukan dengan mengunjungi dan mewawancarai kepala keluarga di tempat, informasi yang dikumpulkan antara lain meliputi masalah kesehatan lingkungan tentang sumber air yang digunakan oleh setiap KK, ternyata belum memenuhi standar kualitas air bersih sesuai peraturan Menkes RI No. 416 Tahun 1996 yaitu koli tinja sebesar 50/m, adanya koli tinja dalam sumber air menunjukkan bahwa sumber air tersebut kemungkinan besar juga tercemari oleh bakteri patogen lainnya yaitu Escherichia coli sendiri yang mempunyai strain-strain patogen penyebab diare.

Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan masa1ah kesehatan rnasyarakat di Sulawesi Selatan. Hal ini dapat dilihat pada pencatatan dan pelaporan Puskesmas dan Rumah Sakit di Sulawesi Selatan pada tahun 1999 dimana penyakit diare menempati urutan keempat dari 10 besar penyakit rawat jalan dengan angka kesakitan 3,34 per 1000 penduduk.

Penyakit diare di Propinsi Sulawesi Selatan masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar bahkan menduduki urutan pertama dengan angka kesakitan sebesar 58,2% tahun 2000 dan pada tahun yang sama jumlah penderita dan kematian akibat penyakit diare di Propinsi Sulawesi Selatan yaitu : umue <>

Penyakit diare di puskesmas Kaimana Kabupaten Kaimana Propinsi Irian Jaya Barat masih merupakan masalah kesehatan masyarakat setiap tahunnya. Pada tahun 2000 tercatat penyakit diare menempati urutan ke dua berdasarkan pola kesakitan 10 besar penyakit rawat jalan di Puskesmas, setelah penyakit infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas, dengan angka kesakitan 20,25 per 1000 penduduk.

http://lkpk.org/2008/05/25/penyakit-diare-di-indonesia/





Merdeka Dalam 62 Tahun, Bagaimana Dengan Kesehatan Kita?

Dalam terminologi sederhana, kemerdekaan berasal dari akar kata “merdeka”, yang berarti bebas, tidak bergantung dan mandiri. Kemerdekaan merupakan konstruk kebebasan yang terbangun dari kapabilitas internal yang otonom. Dalam konteks kenegaraan, kemerdekaan lebih dipahami sebagai kemandirian untuk dapat mengurus dan mengatur negara tanpa intervensi dari negara-negara lainnya. Untuk selanjutnya, dibentuklah sebuah sistem ketatanegaraan yang diproyeksikan menjalankan mekanisme kenegaraan, termasuk menghidupi dan mensejahterakan rakyatnya. Hanya saja, dalam realisasinya, tak urung sistem ketatanegaraan inilah yang justru melahirkan model penjajahan baru terhadap rakyatnya sendiri.

Kemerdekaan yang Mana?

Merdeka, dalam versi kerakyatan, merupakan kondisi di mana aksesibilitas hidup dimiliki setiap orang. Sebuah gambaran realitas yang secara proporsional memungkinkan setiap orang menikmati haknya tanpa tekanan dan batasan dari siapa pun. Termasuk hak untuk makan, sekolah, sehat, mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan lain sebaginya. Penguatan atas hal ini, secara tegas dinyatakan dalam Declaration of Human Rights-nya PBB dan Konstitusi kenegaraan kita, yakni Pancasila dan UUD 1945. Sebagai kewajiban (responsibility), pemenuhan atas semua hak rakyat harus diupayakan secara rasional oleh pemerintah yang berkuasa.





Jika pemenuhan hak rakyat tidak dilakukan, maka negara dapat dianggap telah melakukan pengabaian (state neglect). Pengabaian oleh negara, selanjutnya dapat dianggap sebagai sebuah bentuk penjajahan. Melihat realitas di bangsa kita, maka dapat saja kita tarik benang merah bahwa banyaknya pengangguran, tingginya angka kesakitan dan kematian, membludaknya anak-anak putus sekolah, serta membanjirnya keluarga miskin papa yang kelaparan, adalah wujud nyata ketakberpihakan pemerintah terhadap nasib rakyatnya.

Pertanyaannya, apakah ini dapat dikatakan sebagai pemasungan kemerdekaan yang telah diproklamirkan 62 tahun yang lalu? Atau, inikah bentuk penjajahan model baru oleh negeri sendiri? Jika demikian halnya, maka berarti kita belum layak dikatakan merdeka, apalagi merayakan kemerdekaan dengan mencoba “melupakan sejenak” realitas di atas dan menghipnotis rakyat kecil melalui pentas-pentas seni dan olahraga yang bukan rutinitasnya.
Semarak peringatan kemerdekaan tidaklah dapat dinilai dari sisi luarnya saja, tetapi harus ditinjau dari sejauh mana pemaknaan rakyat atas momentum ini. Jangan sampai kekhawatiran “pensakralan” tanpa pemaknaan filosofis atas tanggal 17 Agustus, benar-benar menjadi kenyataan. Sehingga pada akhirnya, peringatan HUT kemerdekaan hanya menjadi rutinitas atau hiburan tahunan belaka. Bukankah pentas tujuhbelasan menjadi ramai karena selama ini rakyat kita memang butuh hiburan?

Ironi Enam Puluh Dua Tahun

Pengabaian negara, khususnya dalam sektor kesehatan, hingga saat ini masih tidak bisa dihapus. Selalu saja terjadi fenomena di mana rakyat terpaksa harus rela “mati” karena tak mampu membayar biaya perawatan rumah sakit. Lumrah nampak di pelupuk mata banyaknya anak-anak kurang gizi serta tingginya angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan. Gambaran tersebut belum digenapkan oleh masih tingginya pemalakan anggaran kesejahteraan dan kesehatan rakyat, masih terbatasnya pelayanan kesehatan yang mengedepankan aspek promotif dan preventif, serta timbulnya kasus-kasus kesalahan kebijakan (malpolicy) pembangunan yang tidak berwawasan kesehatan.

Rakyat berada dalam posisi yang dilematis. Antara kebutuhan untuk dapat hidup (survival) dan lingkungan yang tidak mendukung untuk itu. Sementara, belaian tangan pemerintah masih sangat kurang dirasakan, bahkan terkesan sebelah mata untuk memandang kesehatan sebagai sebuah investasi. Ini adalah sebuah ironi kemanusiaan dan penjajahan atas kemerdekaan yang telah puluhan tahun diproklamasikan. Sekadar ilustrasi, indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia tahun 2002 berada di peringkat 110, sementara sebagai perbandingan, Vietnam yang tahun 1995 lalu HDI-nya di peringkat 117, justru melejit ke urutan 95 pada tahun yang sama. HDI merupakan gambaran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa dari Program Pembangunan PBB (UNDP), yang dilihat dari tiga aspek: ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Cukup ironis mengingat usia bangsa ini yang sudah lebih setengah abad lamanya.

Kemerdekaan untuk Sehat

Sebagai negara yang telah “merdeka” dari penjajahan bangsa lain, Indonesia kini diperhadapkan pada tantangan untuk mengisi dan mentransformasikan kemerdekaan yang telah diraih. Termasuk untuk mewujudkan kemerdekaan untuk sehat secara layak bagi rakyatnya. Sehat, dalam kategori ini, mesti dipahami sebagai sebuah komprehensivitas kondisi di mana terwujud normalitas atas fisik, psikis, dan sosial (lingkungan). Kesehatan tidak boleh dipandang secara parsialistik, tetapi mutlak dilihat sebagai bagian integral yang tidak dapat dipisahkan. Seorang baru dapat dikatakan “sehat’, jika dia sehat secara fisik, psikis, dan sosial.

Kemerdekaan untuk sehat, berdasarkan batasan di atas, lebih dimaknai sebagai kondusivitas yang terwujud, dalam mana setiap warga masyarakat dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan secara memadai, lingkungan sekitar yang mendukung terwujudnya nuansa hidup yang sehat, serta tereduksinya tekanan psikis (stress) dalam interaksinya dalam masyarakat. Untuk itu, secara otomatis, negara mesti mengupayakan penduduknya agar tetap sehat secara menyeluruh. Jika memandang bahwa mengisi kemerdekaan adalah stage level saat ini, maka perumusan dan pelaksanaan program pembangunan, khususnya bidang kesehatan, harus mendapat prioritas yang utama. Apalagi setelah cakrawala kita mulai terbuka untuk memahami bahwa kesehatan adalah investasi berharga, sekaligus sebagai sebuah hak asasi manusia (HAM).

Program pembangunan kesehatan, pada level apapun, bukanlah merupakan subjektivitas absolut dari penguasa. Tetapi harus terbangun secara participatory dari masyarakat, melalui program pemberdayaan kesehatan dengan tetap mengedepankan spirit kemerdekaan itu sendiri. Bahwa setiap orang berhak untuk menetukan nasib dan arah hidupnya, termasuk untuk sehat atau memilih sakit. Pembanguan kesehatan harus tetap mengutamakan proporsionalitas aspek-aspek kesehatan, antara lain promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam frame kemerdekaan, maka seyogianya yang harus menjadi prioritas pembangunan adalah aspek promotof dan preventif kesehatan. Bukan aspek kuratif, dengan antara lain membangun banyak rumah sakit dan membeli sejumlah alat-alat kedokteran canggih saja. Sehingga dengan demikian, angka kejadian penyakit dapat direduksi secara maksimal karena setiap orang mengetahui bagaimana upaya mencegah dan menghindarinya.

Kemerdekaan untuk sehat dalam kerangka idealnya harus dimaknai sebagai upaya negara menyehatkan setiap warganya tanpa terkecuali. Tanpa pembedaan status sosial-ekonomi, tanpa pembedaan kelas perawatan rumah sakit, dan tanpa pembayaran yang memberatkan pasien. Masyarakat, melalui kemerdekaan ini, harus mulai diajar untuk mencegah dan menghindari penyakit yang setiap saat dapat menimpanya. Sehingga dengan demikian, jika negara masih saja tetap memprimadonakan aspek layanan kuratif dalam pembangunan kesehatan, maka bukankah secara tidak langsung, negara telah melahirkan sebuah bentuk baru penjajahan kesehatan?



http://lkpk.org/2007/08/17/merdeka-dalam-62-tahun-bagaimana-kesehatan-kita/





Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010

Artikel oleh : Sugiharto, M.Sc

Pengadaan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan atau masyarakat, demikian antara lain bunyi pasal 51 UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Untuk medukung hal tersebut maka PP No. 32 tentang tenaga kesehatan telah menetapkan bahwa Perencanaan nasional tenaga kesehatan adalah menjadi tanggung jawab Menteri Kesehatan dengan memeperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat, sarana pelayanan kesehatan serta jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk melaksanakan hal-hal tersebut di atas maka Departemen Kesehatan telah mencanangkan visi baru, misi serta kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan melalui Indonesia Sehat 2010 yang dideklarasikan presiden B.J Habibie tahun 1999. Salah satu strateginya di bidang pengembangan sumber daya Manusia Kesehatan adalah pemantapan profesionalisme tenaga kesehatan.

Untuk mencapai dan menetapkan ukuran tentang semua upaya kesehatan agar dapat diukur secara baik, maka melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003 telah ditetapkan indikator keberhasilan Indonesia Sehat 2010 untuk semua jenis pelayanan kesehatan termasuk tentang indikator sumber daya kesehatan yang merupakan kelompok indikator proses dan masukan untuk mencapai atau melaksanakan pelayanan kesehatan dalam mencapai Indonesia Sehat 2010.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Badan PPSDM Kesehatan telah menyusun perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dengan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku tersebut di atas melalui Keputusan menteri Kesehatan Nomor : 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Perencana-an SDM Kesehatan di Tingkat Propinsi, Kab/Kota serta Rumah Sakit tertanggal 13 januari 2004.

ANTISIPASI KEBUTUHAN DOKTER

Dalam hal jumlah tenaga dokter apabila diperhitungkan secara deret hitung maka pada saat ini diperkirakan jumlah dokter sekitar 40.000 orang ini berarti bahwa untuk mencapai jumlah 94.376 orang di tahun 2010 diperlukan tambahan dokter baru sebanyak 54.376 dokter baru. Ini berarti bahwa setiap tahun diperlukan penambahan dokter sebanyak 54.376 dibagi 7 (tujuh tahun lagi) atau sebanyak 7.768 dokter baru.

Melihat situasi keberadaan Fakultas Kedokteran yang ada saat ini berjumlah sekitar 45 buah fakultas kedokteran negeri yang rata rata kelulusannya sekitar 100 orang dokter, maka maksimal hanya dihasilkan dokter baru sebanyak 4.500 orang dokter . Sedangkan Fakultas kedokteran swasta yang saat ini baru berdiri masih belum bisa diharapkan kontribusinya dalam waktu dekat ini. Dengan demikian kita akan kekurang-an tenaga dokter sekitar 3.000 orang setiap tahunnya, ini berarti bahwa apabila kita ingin konsisten menunjang kebutuhan akan dokter dalam menunjang pencapaian Indonesia sehat 2010 maka mau tidak mau harus memepercepat produksi dokter melalui fakultas kedokteran swasta dengan tidak boleh mengesampingkan kualitasnya. Jalan lain yang bisa ditempuh adalah memanfaatkan kondisi globalisasi dengan membuka seluas-luasnya masuknya tenaga kesehatan asing di Indonesia untuk dapat ditempatkan pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta yang membutuhkan.

ANTISIPASI KEBUTUHAN TENAGA KEPERAWATAN

Jumlah tenaga lulusan keperawatan yang sampai dengan 2003 diperkirakan sebanyak 233.116 orang tersebar di seluruh wilayah. Apabila dibandingkan dengan Indikator Indonesia sehat 2010 sebesar 117 orang perawat untuk 100.000 penduduk atau sebanyak 276.049 orang perawat di tahun 2010, maka Indonesia hanya memerlukan tambahan tenaga perawat sebanyak 42.933 orang perawat lagi untuk memenuhi kebutuhan dalam menunjang Indonesia Sehat 2010 atau sekitar 6.130 orang perawat setiap tahunnya.

Berbeda halnya dengan tenaga dokter yang institusi pendidikannya sangat terbatas maka khusus untuk tenaga keperawatan sampai saat ini telah berdiri sekitar 32 buah Politeknis Kesehatan dan 598 Akademi Kesehatan yang berstatus milik daerah, ABRI, dan Swasta (DAS) yang saat ini telah menghasilkan lulusan sekitar 20 – 23.000 lulusan tenaga Perawat setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan untuk menunjang Indonesia Sehat 2010 sebanyak 6.130 orang setiap tahun, sedangkan lulusan tenaga Keperawatan sebesar 23.000 orang maka khusus untuk tenaga keperawatan akan terjadi surplus tenaga sekitar 16.670 tenaga perawat setiap tahunnya.

Oleh karena itu masih layakkah kita saat ini masih terus menerus mendirikan sekolah setingkat diploma III keperawatan yang sudah secara jelas jumlah produksi mengalami kelebihan . Apakah tidak sebaiknya para mitra swasta yang berminat di bidang pendidikan ini mengalihkan perhatiannya dengan mendirikan pendidikan non keperawatan seperti pendidikan tenaga Refraksi Optisi atau Radiografer yang sudah jelas sangat kekurangan tenaganya dan bahkan untuk tenaga terapi Wicara sampai saat ini hanya terdapat satu institusi pendidikan swasta yang bergerak di bidang pendidikan terapi wicara.

Oleh karena itu untuk mengantisipasi kelebihan tenaga tersebut salah satu yang perlu disiapkan oleh semua pihak terkait adalah bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat di Luar Negeri yang sangat banyak setiap tahunnya sehingga kelulusannya lebih ditingkatkan dengan cara meningkatkan kemampuan/kualitas lulusan yang ada saat ini.

Bagi organisasi profesi penataan profesi keperawatan merupakan sesuatu yang sudah tidak bisa ditawar lagi agar mampu dan diakui oleh organisasi keperawatan di Luar Negeri dengan melakukan sertifikasi tenaga Keperawatan yang berstandar International.

Kepada pihak swasta yang berminat di bidang Institusi pendidikan, diharapkan mampu menerapkan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan melaksanakannya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan tanpa mengurangi kewajiban yang harus disiapkan sehingga mengakibatkan menurunnya kualitas tenaga keperawatan. Kata kunci bagi pihak swasta untuk ikut bertanggung jawab terhadap mutu tenaga keperawatan adalah dengan mendirikan Institusi Keperawatan yang memenuhi syarat baik kurikulum maupun sarana dan prasarana yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

ANTISIPASI TENAGA SANITARIAN

Sanitarian sebagai salah satu dari tenaga yang berkategori sebagai tenaga Kesehatan masyarakat dimana semua upaya pelayanannya bersifat sebagai public goods maka akan sangat berbeda dengan tenaga keperawatan dan dokter yang lebih bersifat private goods.

Perhitungan kebutuhan untuk mendukung Indonesia Sehat 2010 sebanyak 94.376 sanitarian sedangkan saat in baru mempunyai tenaga sebanyak 12.461 orang masih membutuhkan tenaga sanitarian sebanyak 81.915 orang atau sekitar 11.000 sanitarian setiap tahunnya. Apabila dikaitkan dengan Institusi pendidikan sanitarian yang ada saat ini yaitu D III kesehatan lingkungan yang berjumlah 23 buah dan dari jurusan Kes.Lingkungan di Poltekes sebanyak 20 buah apabila diperkirakan setiap institusi mengahasilkan lulusan sebanyak 60 orang setiap tahunnya maka institusi ini baru mengahsilkan lulusan sebanyak 2.580 orang atau masih kekurangan 8.420 orang. Meskipun secara perhitungan bahwa tenaga Sanitarian masih sangat kekurangan namun pada kenyataannya masih banyak tenaga sanitarian yang belum bekerja sesuai dengan bidangnya karena keterbatasan pemerintah dalam menyerap tenaga ini.

Atas dasar hal tersebut di atas maka kiranya sudah saatnya di dalam merencanakan kebutuhan tenaga kesehatan di masa mendatang sudah harus dipikirkan perekrutan terhadap tenaga public health dan bukan hanya tenaga dokter, perawat dan bidan yang telah dijalankan selama ini. Dengan demikian pengangkatan Sanitarian dan tenaga public Health lainnya sebagai Pegawai Negri Sipil Perlu medapatkan dukungan dari semua pihak mengingat bahwa tenaga public health merupakan tenaga yang keberadaanya memang diperuntukan memikirkan kepentingan masyarakat luas bukan untuk kepentingan individu/perorangan.

Ketiga contoh tenaga tersebut diatas adalah merupakan contoh yang perlu mendapatkan perhatian lebih seksama dengan telah dikeluarkannya pedoman dan Keputusan menteri kesehatan yang berkaitan dengan penataan tenaga kesehatan pada khususnya dan SDM Kesehatan pada umunya karena sebetulnya masih banyak hal-hal yang perlu diantisipasi di bidang ketenagaan dan sumberdaya Manusia Kesehatan lainya seperti dibutuhkannya jenis tenaga Sarjana Hukum yang ahli di bidang kesehatan atau ahli ekonomi kesehatan serta tenaga aktuaria yang terkait erat dengan pelayanan dokter keluarga dalam hal menghitung premi pelayanan kesehatan dan cost analisis untuk advokasi kepada pemegang kekuasaan sehingga memahami arti penting pembiayaan kesehatan dihubungkan dengan masalah ekonomi. Untuk itu diperlukan antisipasi terhadap semua jenis tenaga lainnya yang lebih terperinci satu persatu pada kesempatan lainnya.

http://lkpk.org/2007/04/10/antisipasi-perencanaan-tenaga-kesehatan-guna-mendukung-indonesia-sehat-2010/